Nurul Azizah – Alhamdulillah penulis bersyukur kepada Allah SWT, karena sebelum pengajian yang diadakan oleh PMajelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU) Tembalang Semarang, penulis bisa bertemu dan mewawancarai KH. Yusuf Chudlori atau Gus Yusuf. Beliau datang memenuhi undangan dari MWC NU Tembalang untuk mengisi mauidhoh hasanah saat pelantikan kepengurusan MWC NU Tembalang, Sabtu malam (10/12/2022) di Taman Meteseh Tembalang Semarang.
Sebelum beliau mengisi pengajian sejenak transit dulu di rumahnya KH. Dr. Iman Fadhilah, salah satu pengurus yang akan dilantik. Saat itulah beliau bersedia wawancara secara singkat dengan penulis.
Sebelumnya penulis memperkenalkan diri sebagai pegiat NU dan NKRI, penulis buku “Muslimat NU di Sarang Wahabi.”
“Di lingkungan kami ini Gus, ada pondok pesantren Wahabi yang begitu besar, padahal daerah sini basisnya orang NU,” kata penulis mengawali percakapan.
“Ada pengurus struktural NU nya ndak di daerah sini,” sahut Gus Yusuf.
“Ada Gus,” sahut penulis.
Penulis langsung menunjuk pak Iman Fadhilah, beliaulah yang menghidupkan amalan-amalan NU di daerah sini bersama pak Kiai Anjab (ketua NU Ranting Kelurahan Meteseh), tentunya beserta ibu Nyai Rotiyal Umroh, penulis sendiri, para santri Ponpes Mahasiswa Al-Fadhilah beserta para jamaah di sekitar aula Al-Fadhilah Meteseh.
“Dilanjutkan, ajak semua komponen pengurus NU untuk terus melakukan ibadah dan amalan-amalan NU, kita tidak masalah hidup berdampingan dengan kelompok yang berbeda dengan amaliyah NU, asalkan kelompok tersebut masih mencintai Pancasila dan NKRI,” sahut Gus Yusuf.
“Lain cerita, sesama pemeluk Islam, tinggal di Indonesia, pemeluk tersebut kok benci sama NKRI, menolak Pancasila sebagai Dasar Negara, itu yang perlu kita waspadai,” imbuh Gus Yusuf.
“Jangan terlalu pusing dengan amalan kelompok-kelompok yang ngaku paling Islam, paling sempurna ibadahnya, paling benar amaliyahnya, suka mengkafir-kafirkan orang yang berbeda dengan kelompoknya,” kata Gus Yusuf.
“Saya mengacu ceramahnya Gus Baha, Islam amaliyahnya jangan terlalu berat, menjadi beban bagi pemeluknya, jangan terlalu kaku dan ini haram masuk neraka, sudah tidak saatnya Islam itu kaku, yang flesibel sajalah. Contohnya kalau sholat berjamaah jangan terlalu lama, takut jamaahnya sedikit karena harus bekerja, kalau anak-anak ramai di Mushola atau Masjid jangan dimarahi, biarkan dulu kemudian diarahkan,” kata Gus Yusuf.
“Panjenengan ingat ndak ceramah-ceramahnya Gus Baha, coba nanti diingat lagi njeh untuk tambah referensi,” katanya.
“Njeh Gus nanti saya buka lagi ceramah-ceramahnya Gus Baha,” sahutku.
Sekembalinya dari pengajian, penulis berusaha membuka beberapa ceramahnya Gus Baha.
Ada sisi menarik kalau ngaji dengan Gus Baha, minimal bagi penulis, Gus Baha selalu membawakan setiap pengajiannya dengan ceria dan bahagia. Gus Baha melakukan pendekatan yang “berbeda.” Bila pengajian yang lain menggunakan pendekatan serius, membahas surga dan neraka, maka Gus Baha sangat berbeda. Gus Baha memilih pendekatan ceria dan bahagia.
“Orang Islam itu harus menunjukkan keceriaannya, ditakdirkan iman kepada Allah SWT ya harus bahagia, jangan sampai orang Islam kelihatan susah dan terbebani dalam menjalankan ajaran agamanya,” begitulah kutipan dari pengajiannya Gus Baha.
Diceritakan oleh Gus Baha, para ulama kiai-kiai di pesantren rata-rata senang bercanda. Mereka ingin menunjukkan kepada umat bahwa beragama harus senang. Para ulama itu tidak ingin umat punya pandangan bahwa beragama itu beban atau problem.
Kalau bicara surga dan neraka itu gampang, Gus Baha lebih senang kalau umat Islam itu optimis masuk surga, dan berpotensi masuk surga. “Lha umat Islam khan sudah punya kunci masuk surga, yaitu “La illaha illallah.” Sementara untuk masuk neraka kita tidak punya kuncinya, sahut Gus Baha di pengajiannya sambil berkelakar.
Itulah sedikit cuplikan dari pengajian Gus Baha yang penulis tambahkan, untuk melengkapi keterangan dari Gus Yusuf, bahwa beragama itu jangan dijadikan beban hidup, apalagi amalan-amalannya terlalu berat. Dibuat rileks saja dalam pelaksanaanya.
Wawancara dengan Gus Yusuf Chudlori tentunya tidak bisa lama-lama karena banyak orang atau panitia kegiatan ingin berbincang dengan beliau.
Di akhir wawancara dengan penulis beliau berpesan, “lanjutkan perjuangan panjenengan bersama pak Iman dan ibu nyai serta jamaah, jangan kendur, tetap semangat melanjutkan perjuangan para alim ulama NU.
“Semangat njeh mbak, saya hanya bisa berdoa, semoga perjuangan panjenengan diijabahi Allah SWT,” sahut Gus Yusuf.
“Aamiin aamiin aamiin YRA,” sahut penulis.
“Yang bisa menghalau kelompok takfiri, kelompok yang suka mengkafir-kafirkan orang lain, termasuk kelompok salafi wahabi ya orang NU sendiri, kalau orang-orang birokrasi atau pemimpin dari partai politik tertentu jangan terlalu diharapkan,” jelas Gus Yusuf.
Diakhir wawancara, KH. Iman Fadhilah minta doa untuk kebaikan semuanya, untuk perjuangan melakukan amaliyah NU, untuk perkembangan pondok pesantren mahasiswa Al-Fadhilah, untuk para jamaah agar bisa istiqomah ibadahnya dan kesehatan yang hadir pada malam itu, Sabtu malam (10/12/2022).
Maka pertemuan yang singkat penuh makna ini ditutup dengan doa oleh KH. Muhammad Yusuf Chudlori atau lebih dikenal sebagai Gus Yusuf. Beliau pengasuh pondok pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo Magelang.
“Mbak saya tertarik bukune panjenengan, saya minta njeh,” sahut Gus Yusuf.
“Monggo Gus, dengan senang hati buku ini saya haturkan panjenengan,” sahut penulis.