Ber NU Harus Banyak Mengaji Diri
Ber NU itu meningkatkan Kwalitas kepribadian kita.
Ber NU itu, berarti mengikrarkan diri untuk jadi Contoh, untuk jadi teladan, dan siap di kenang amal baiknya, karena ia di tuntut meninggalkan jejak kebermanfaatan diri.
Ciri orang NU yang sekilas bisa terbaca oleh banyak orang adalah, dari cara ia berpakaian, itu menunjukan pembeda dari sisi segi visual, dan sekaligus memberi kesan unsur membumi yang lekat dengan keramah tamahan khas Nusantara.
Sangat jamak dan sudah jadi ciri khasnya, orang NU itu berpeci, dan sarungan, hal ini sebenarnya sudah jadi pembeda, yang menunjukan ciri menyatunya keimanan pada diri orang NU itu, yang berbeda dengan orang kebanyakan.
Sadar atau tidak, budaya berpeci dan sarungan, menempati tempat kultural terbaik di kita, yang membawa nilai keademan, damai, dan humanis, yang siap akrab, mau terbuka dengan siapapun.
Bagaimana tampilan dari orang NU yang benar, yang bisa menunjukan ciri ke NU-annya ?
Mungkin bisa melihat rujukan pada tampilan Gus Dur, Gus Mus, Gus Baha, yang selalu tampil sederhana, tidak terlalu mengandalkan gaya, apalagi beraksesoris berlebihan.
Bagaimana kalo pakai Blangkon, jas, dan masih tetap sarungan ?
Atau pakai sorban, jas, gamis sebatas lutut, dan tetap sarungan ?
Perlu kita telaah juga, orang NU itu orang yang memiliki kebiasaan sederhana, simple, dan tak neko-neko !
Coba jawab sendiri, apakah harus seperti yang narasi dua di atas tadi ?
Apa perlu seperti itu juga kita ini, untuk menunjukan kwalitas pembeda diri kita ?
Bagaimana jika kita pakai peci, sarungan, dan berjaket Banser ?
Coba berkaca, apakah dengan atribut seperti itu, kita mau di bilang gagah, atau bertujuan mencari perhatian di komunitas NU yang kita masuki ?
Jika mau di cap gagah, atau mau orang lain dibuat segan…yaa, itu ada pada kita pilihannya.
Ber NU itu mampu menempatkan diri.
Ber NU itu mampu membaca diri, mengkaji dirinya.
Dan ber NU juga mampu menyesuaikan dan beradaptasi dengan akar rumput, Grassroots, karena mereka butuh figur yang dipercaya, jujur, amanah, dan mampu jadi pembimbing keteladanan.
Manusia teladan itu, di NU kita ini, sudah bisa di bilang hanya ada dalam hitungan jari !
Lalu apakah dalam bilangan yang sedikit itu, nama kita ada tercantum di sana ?
Atau bahkan nama kita malah tidak ada ?
Yaa mungkin, karena kita tahu diri kita sendiri, kita ini, terlampau banyak dosa…
Terlampau berkedok kemunafikan, sehingga otomatis diri kitalah yang mampu membaca diri, siapa kita sebenarnya !
Apakah patut atau tidaknya kita ada, jadi pilihan, dalam catatan manusia terpilih tersebut !
Menjadi Manusia teladan sendiri, itu bukan hanya di mulut aktualisasinya…!
Jika itu sekedar lipstik, yang rugi adalah diri sendiri, karena kita masuknya, terjebak jadi manusia munafik.
Ber NU itu harus kuat niatnya.
Terkhusus niat untuk mampu memberi kebaikan pada banyak orang.
Bukan niat untuk memanfaatkan banyak orang.
Ber NU itu harus kuat ikhlas nya.
Karena ke ikhlasan kita di uji oleh Allah, untuk Allah akui keberadaan dari kesungguhan niat kita.
Niat itu ujian terbesar untuk orang NU.
Salah niat, orang NU, atau individu NU itu bisa salah jalan.
Bukan jalan lurus yang ia dapat, tapi jalan berkelok, dan pudunan curam yang akan menenggelamkan, dan menghitamkan hatinya.
Ber NU itu harus siap memberi.
Walau sedikit yang bisa kita darma baktikan…
Apakah itu tenaga, pikiran, dan finansial, apa yang kita hibahkan dari perbuat itu, otomatis akan menguatkan keimanan kita menuju puncak kebahagiannya yang sesungguhnya.
Itu karena memberi, memiliki keutamaan nilai tersendiri, dibanding senang menerima bantuan, dan imbalan.
Keberadaan diri kita di tengah masyarakat NU, di tengah komunitas NU, dan berada di lingkaran pengurus NU, semua perilaku kita harus hati-hati.
Hati-hati bicara, hati-hati berpendapat, hati-hati bersikap, dan hati-hati berniat.
Perilaku kita akan jadi bacaan orang NU lainnya.
Karakter kita akan ditelaah, di kaji oleh orang NU di depan, di belakang, dan juga kiri kanan kita.
Pintar-pintarlah orang NU membaca terkait hal ini.
Sebab itu adalah Ilmu, yang kita akan ambil pelajarannya dari kesalahan orang lain, yang tak harus kita ikuti, karena akan membawa aib diri yang sulit nantinya kita tutupi.
Salah kaprah kita terkait memiliki niat yang beda, akan terbaca dari cara kita berargumentasi, beralasan, dan dari cara kita meyakinkan orang untuk setuju pada pola yang kita buat, melalui memaksakan kehendak.
Apakah ini benar ?
Kaloupun pada akhirnya itu di turuti, maka terbukalah karakter asli kita nantinya, yang bisa di baca sebagai manusia yang memanfaatkan NU.
Apakah akan membawa barokah jika sudah seperti itu ?
Di NU jangan menyisipkan niat buruk, niat untuk kepentingan pribadi , dan niat cari kehidupan.
Kiai Hasyim Asy’ari itu melihat, apalagi Gusti Allah !
Berkahnya jadi santri Kiai Hasyim Asy’ari, adalah dari membangun niat tulus, niat ikhlas, dan terus bergerak progresif membangun NU.
Insyaallah pintu keberkahan akan Allah buka-bukakan.
Kemudahan akan menyambut kita seperti bumi ini serasa membukakan jalan-jalannya.
Tak ada kesulitan jika niat kita sudah benar !
Dan akan ada benteng kokoh yang menghambat, dan menyulitkan kita, jika kita salah langkah, salah jalan, dalam niatan awal yang menentukan langkah perjalanan kita.
Berjalanlah dengan kejujuran diri.
Jadilah manusia yang benar dan bisa menjadi teladan.
Malu lah kita, dengan bacaan orang, yang membaca siapa diri kita.
Jaga Marwah diri, karena kepercayaan manusia pada kita adalah sesuatu yang paling berharga.
Insyaallah orang NU itu sangat tau diri, dan orang NU sejati, adalah manusia yang seperti Nabi junjungan kita inginkan, bahwa kita, pribadi terbaik, yang memiliki kwalitas, untuk mampu memberi kontribusi kebermanfaatan diri yang terbaik bagi umat…
Insyaallah.
Penulis Nakal
Bambang Melga Suprayogi M.Sn
Ketua LTN NU Kabupaten Bandung
Dalam Renungan diri menjadi orang NU sejati.