Panduan Puasa Muharram: Tata Cara, Hukum, dan Keutamaaannya
Puasa Muharram adalah puasa yang dilakukan di bulan Muharram, bulan pertama dalam kalender Hijriah. Hukum puasa Muharram adalah sunnah, bahkan lebih utama dari puasa bulan Sya’ban yang paling sering dipuasai oleh Nabi Muhammad saw. Beliau bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعدَ الفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ. (رواه مسلم)
Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: ‘Rasulullah saw bersabda: ‘Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR Muslim).
Imam an-Nawawi menjelaskan, hadits shahih ini merupakan dalil sharîh atau sangat jelas yang menunjukkan kesimpulan hukum bahwa bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadhan adalah Muharram. Selain itu, meskipun Nabi Muhammad saw memang lebih banyak berpuasa di bulan Sya’ban, namun hal itu tidak menafikan keutamaan Muharram daripada Sya’ban. Sebab bisa jadi Nabi saw baru diberi tahu keutamaan Muharram yang melebihi Sya’ban di masa-masa akhir hidupnya, atau bisa jadi Nabi saw sudah mengetahuinya namun tidak sempat memperbanyak puasa di bulan Muharram karena berbagai halangan, seperti sakit bepergian, dan semisalnya (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Minhâj Syarhun Shahîh Muslim bin al-Hajjâj, [Bairut, Dârul Ihyâ-it Turâtsil ‘Arabi, 1392 H], cetakan kedua, juz VIII, h. 55).
Dari sini diketahui, dalam bulan Muharram semakin banyak berpuasa maka semakin baik. Bisa puasa sehari, dua hari, tiga hari, atau bahkan sepanjang Muharram apabila memang tidak memberatkan. Di luar itu, hari-hari bulan Muharram yang lebih utama untuk dipuasai berdasarkan hadits dan penjelasan ulama adalah 10 hari pertama Muharram—termasuk di dalamnya hari Tasu’a (9 Muharram), hari ‘Asyura (10 Muharram)—dan tanggal 11 Muharram. (An-Nawawi, al-Minhâj Syarhu Shahîh, juz VIII, h. 55; Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatâwal Kubrâl Fiqhiyyah, [Dârul Fikr], juz II, h. 54; Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi, Nihâyatuz Zain fî Irsyâdil Mubtadi’în, [Bairut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah, cetakan pertama: 1422 H/2002 M], h. 192; dan Abdullah Abdirrahman Bafadhal al-Hadlrami, al-Muqaddimatul Hadlramiyyah, [Damaskus, ad-Dârul Muttahidah: 1413 H], h. 139).
Mengapa Puasa Muharram Penting?
Hikmah puasa Muharram sebagai puasa yang paling utama setelah Ramadhan sangat banyak. Di antaranya, karena Muharram merupakan awal tahun Hijriah maka sangat pantas dibuka dengan puasa yang merupakan amal paling utama. Imam al-Qurthubi mengatakan:
إِنَّمَا كَانَ صَوْمُ الْمُحَرَّمِ أَفْضَلَ الصِّيَامِ مِنْ أَجْلِ أَنَّهُ أَوَّلَ السَّنَةِ الْمُسْتَأْنَفَةِ، فَكَانَ اسْتِفْتَاحُهَا بِالصَّوْمِ الَّذِي هُوَ أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ
Artinya, “Puasa Muharram menjadi puasa yang paling utama karena Muharram merupakan awal tahun baru, maka pembukaannya adalah dengan puasa yang merupakan amal paling utama.” (Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Dîbâj ‘ala Muslim, [Arab Saudi, Dârubnu ‘Affân, cetakan pertama: 1416 H/1996 M], juz III, h. 251).
Keutamaan Puasa Muharram
Keutamaan puasa Muharram sangat banyak, yang di antaranya adalah lima keutamaan sebagaimana berikut :
Pertama, menjadi puasa yang paling utama, sebagaimana hadits riwayat Imam Muslim dalam awal tulisan.
Kedua, termasuk dalam keutamaan berpuasa dalam bulan-bulan mulia atau al-asyhurul hurum. Diriwayatkan:
عَنِ الْبَاهِلِيِّ أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَنَا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتُكَ عَامَ الْأَوَّلِ. قَالَ: فَمَا لِي أَرَى جِسْمَكَ نَاحِلًا؟
قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا بِالنَّهَارِ، مَا أَكَلْتُهُ إِلَّا بِاللَّيْلِ. قَالَ: مَنْ أَمَرَك أَنْ تُعَذِّبَ نَفْسَكَ؟ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَقْوَى. قَالَ: صُمْ شَهْرَ
الصَّبْرِ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ بَعْدَهُ وَصُمِ الْأَشْهُرَ الْحُرُمَ. (رَوَاهُ دَاوُدَ وَابْنِ مَاجَهْ وَغَيْرِهِمَا)
“Diriwayatkan dari al-Bahili : ‘Aku mendatangi Rasulullah saw, lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, Aku adalah lelaki yang pernah mendatangimu pada tahun pertama?’ Rasulullah saw bersabda: ‘Dulu aku tidak melihat tubuhmu lemah?’ Al-Bahili menjawab: ‘Wahai Rasulullah, Aku tidak mengonsumsi makanan di siang hari, aku tidak memakannya kecuali di waktu malam.’ Rasulullah saw bersabda: ‘Siapa yang menyuruhmu menyiksa dirimu?’ Aku menjawab: ‘Wahai Rasulullah, sungguh Aku mampu berpuasa (terus-menerus).’ Rasulullah saw bersabda : ‘Puasalah bulan Sabar (Ramadhan) dan tiga hari setelahnya, dan puasalah pada bulan-bulan mulia’.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah dan selainnya).
Ketiga, puasa sehari dalam bulan Muharrram pahalanya sama dengan puasa 30 hari. Diriwayatkan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَامَ يَوْمَ عَرَفَةَ كَاَن لَهُ كَفَارَةً سَنَتَيْنِ، وَمَنْ صَامَ يَوْمًا مِنَ الْمُحَرَّمِ
فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ ثَلَاثُونَ يَوْمًا. (رواه الطبراني في الصغير وهو غريب وإسناده لا بأس به)
Artinya, “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: ‘Rasulullah saw bersabda: ‘Orang yang berpuasa pada hari Arafah maka menjadi pelebur dosa dua tahun, dan orang yang berpuasa sehari dari bulan Muharram maka baginya sebab puasa setiap sehari pahala 30 hari puasa’.” (HR at-Thabarani dalam al-Mu’jamus Shaghîr. Ini hadits gharîb namun sanadnya tidak bermasalah). (Abdul Adhim bin Abdul Qawi al-Mundziri, at-Targhîbu wat Tarhîbu minal Hadîtsisy Syarîf, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah], juz II, h. 70).
Keempat, khusus puasa hari Asyura pada tanggal 10 Muharram, maka akan menjadi pelebur dosa setahun yang telah lewat. Diriwayatkan:
عَنْ أَبي قَتَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صِيامِ يَوْمِ عَاشُوراءَ، فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ المَاضِيَةَ. (رواه مسلم)
Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Qatadah ra: sungguh Rasulullah saw bersabda pernah ditanya tentang keutamaan puasa hari Asyura, lalu beliau menjawab: ‘Puasa Asyura melebur dosa setahun yang telah lewat’.” (HR Muslim).
Kelima, khusus puasa Tasu’a pada 9 Muharram dan puasa 11 Muharram yang dijadikan pelengkap puasa Asyura pada 10 Muharram, menjadi pembeda umat Islam dengan umat Yahudi yang sama-sama berpuasa di hari Asyura. Diriwayatkan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا مَرْفُوعًا: صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ، صُومُوا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ يَوْمًا بَعْدَهُ (رواه أحمد)
Artinya, “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra dengan status marfu (Rasulullâh bersabda): ‘Puasalah kalian pada hari Asyura dan bedakan dengan kaum Yahudi, puasalah kalian sehari sebelum atau sesudahnya’.” (HR Ahmad).
Di akhir hayat Rasullah SAW memang suka membedakan ritual umat Islam dengan umat Yahudi. Dalam konteks ini al-Hafidh Ibnu Hajar mengatakan maka tingkatan puasa Asyura itu ada tiga: satu, puasa hari Asyura saja. Dua, puasa Asyura disertai puasa Tasu’a. Tiga, puasa Asyura disertai puasa Tasu’a dan puasa 11 Muharram. (Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bâri Syarhu Shahîhil Bukhâri, [Bairut, Dârul Ma’rifah: 1379 H], juz IV, h. 245-246).
Tata Cara Puasa Muharram
Puasa Muharram secara teknis dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, niat di hati. Niat puasa Muharram, baik secara umum maupun khusus puasa 10 hari awal Muharram, puasa Tasu’a, puasa Asyura, dan puasa 11 Muharram—sebagaimana puasa sunnah lainnya—dapat dilakukan dengan niat puasa mutlak, seperti: “Saya niat puasa,” atau dengan cara yang lebih baik sebagaimana berikut :
وَيْتُ صَوْمَ الْمُحَرَّمِ لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitu shaumal Muharrami lilâhi ta’âlâ.
Artinya, “Saya niat puasa Muharram karena Allah ta’âlâ.”
Niat puasa Tasu’a secara lengkap :
نَوَيْتُ صَوْمَ تَاسُوعَاءَ لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma Tâsû’â-a lilâhi ta’âlâ.
Artinya, “Saya niat puasa Tasu’a karena Allah ta’âlâ.”
Niat puasa Asyura secara lengkap :
نَوَيْتُ صَوْمَ عَاشُورَاءَ لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma Âsyûrâ-a lilâhi ta’âlâ.
Artinya, “Saya niat puasa Asyura karena Allah ta’âlâ.”
Selain niat di dalam hati juga disunnahkan mengucapkannya dengan lisan. Sebagaimana puasa sunnah lainnya, niat puasa Muharram dapat dilakukan sejak malam hari hingga siang sebelum masuk waktu zawâl (saat matahari tergelincir ke barat), dengan syarat belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar atau sejak masuk waktu subuh. (Al-Malibari, Fathul Mu’în, juz II, h. 223).
Kedua, makan sahur. Lebih utama makan sahur dilakukan menjelang masuk waktu subuh sebelum imsak.
Ketiga, melaksanakan puasa dengan menahan diri dari segala hal yang membatalkan, seperti makan, minum dan semisalnya.
Keempat, lebih menjaga diri dari hal-hal yang membatalkan pahala puasa seperti berkata kotor, menggunjing orang, dan segala perbuatan dosa. Rasulullah saw bersabda:
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعِ وَالْعَطَشِ (رواه النسائي وابن ماجه من حديث أبي هريرة)
Artinya, “Banyak orang yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan kehausan.” (HR an-Nasa’i dan Ibnu Majah dari riwayat hadits Abu Hurairah ra). (Abul Fadl al-‘Iraqi, al-Mughni ‘an Hamlil Asfâr, [Riyad: Maktabah Thabariyyah, 1414 H/1995 M], juz I, h. 186).
Kelima, segera berbuka puasa saat tiba waktu maghrib. (Ibrahim al-Bajuri, Hâsyiyyatul Bâjuri ‘alâ Ibnil Qâsim al-Ghazi, [Semarang, Thoha Putra], juz I, h. 292-294).
Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda.
Editor : Mahbib Khoiron
Pewarta : Ahmad Muntaha AM
Sumber : https://islam.nu.or.id/syariah/panduan-puasa-muharram-tata-cara-hukum-dan-keutamaaannya-S4Eos