Kolom

Pendidikan Berkualitas : Hak, Bukan Privilege

Oleh : DR. Mulyawan Safwandy Nugraha, Wakil Ketua Tanfidziah PCNU Kota Sukabumi, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi.

Setiap tanggal 2 Mei, saya selalu merenung cukup dalam. Hari Pendidikan Nasional bukan sekadar momentum seremonial, melainkan ajakan untuk melihat ulang janji-janji kita terhadap generasi penerus. Apa yang dulu diperjuangkan Ki Hadjar Dewantara—bahwa pendidikan adalah alat pembebasan—sering terasa jauh dari kenyataan, terutama jika kita bicara soal akses dan mutu.

Sebagai akademisi dan praktisi, saya menyaksikan sendiri betapa pendidikan bermutu masih menjadi semacam “kemewahan” yang tidak semua anak bisa nikmati. Di kota-kota besar, kita bisa menemukan sekolah dengan kurikulum internasional, laboratorium canggih, guru yang rutin mengikuti pelatihan, serta siswa yang bisa belajar dengan nyaman tanpa harus memikirkan biaya. Sementara di banyak pelosok, saya pernah menginjakkan kaki di sekolah dengan atap bocor, guru yang merangkap tiga mata pelajaran, dan siswa yang harus berjalan kaki berjam-jam untuk sampai ke kelas.

Maka, pertanyaan yang terus menghantui saya adalah: benarkah pendidikan berkualitas sudah menjadi hak? Ataukah masih menjadi privilege yang hanya bisa diraih oleh mereka yang kebetulan lahir di tempat dan keluarga yang tepat?

Data dan riset menyebutkan bahwa kualitas guru adalah penentu utama dalam keberhasilan belajar siswa. Tapi mari jujur—banyak guru yang kami temui di lapangan justru bekerja dalam tekanan. Mereka kelelahan oleh beban administrasi, minim pelatihan, bahkan kadang merasa sendiri karena kurang dukungan dari sistem. Padahal, bagaimana mungkin kita berharap murid berkembang kalau gurunya tak punya ruang untuk bertumbuh?

Saya juga melihat bagaimana kebijakan sering kali bersifat sentralistik. Sekolah di Papua dipaksa menggunakan pendekatan yang sama dengan sekolah di Jakarta, padahal kondisi sosial, budaya, dan ekonomi sangat berbeda. Kita butuh kurikulum yang fleksibel dan kontekstual, yang bukan hanya menguji hafalan, tapi juga membangun empati, logika, dan kesadaran sosial.

Tentu, bukan berarti kita tidak bergerak. Saya melihat ada semangat perubahan, baik dari guru-guru muda yang inovatif, komunitas belajar, hingga inisiatif dari beberapa pemerintah daerah yang berani bereksperimen. Tapi ini semua masih sporadis. Untuk benar-benar menghadirkan pendidikan berkualitas sebagai hak semua orang, kita butuh keberanian politik dan komitmen moral yang kuat dari semua lapisan masyarakat.

Pendidikan tidak bisa lagi dibiarkan menjadi urusan segelintir orang. Ia adalah tanggung jawab bersama—orang tua, guru, pejabat, akademisi, bahkan dunia usaha. Jika kita gagal memastikan pendidikan yang merata, kita sedang membiarkan ketimpangan semakin mengakar. Dan itu bukan hanya ancaman bagi individu, tapi juga bagi masa depan bangsa.

Hari ini, saat kita memperingati Hari Pendidikan Nasional tahun 2025, mari kita tanyakan pada diri sendiri: apakah kita sudah cukup adil dalam memberi kesempatan belajar? Apakah kita sudah memastikan bahwa setiap anak, siapa pun dia, bisa tumbuh dan bermimpi lewat pendidikan yang bermutu?

Pendidikan berkualitas bukan hadiah. Ia hak yang harus diperjuangkan. Dan perjuangan itu dimulai dari keberanian kita untuk melihat kenyataan, mengakuinya, dan berbuat lebih baik mulai dari ruang-ruang terkecil di sekitar kita.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button