Opini

KH. Sulaiman dan Serah Padi di Indramayu : Perlawanan yang Tak Tercatat

LTN NU Jawa Barat,

Wahyu Iryana, sejarawan, penyair dan penulis roman sejarah Momi Kyosutu – Langit Indramayu pada tahun 1942 adalah langit yang kelabu. Di sawah, padi menguning, tapi bukan milik petani. Ia sudah dipesan sebelum dipanen, sudah dihitung sebelum ditanam. Jepang datang dengan aturan serah padi: siapa yang menanam harus menyerahkan. Petani Indramayu seperti menanam untuk perut orang lain, dan hanya menyisakan sekam untuk dirinya sendiri.

Di tengah lumbung yang dikuasai tentara pendudukan, seorang kiai bernama KH. Sulaiman berjalan di antara pematang. Sandalnya berdebu, sarungnya berkibar tertiup angin pesisir, dan suaranya lirih tapi jelas: “Padi itu untuk perut kita, bukan untuk perut penjajah.”

Ketika Ladang Tak Lagi Milik Petani

Zaman itu, Jepang bukan hanya menjajah tanah, tapi juga lambung dan tenggorokan rakyat. Kewajiban serah padi adalah skema yang rapi tapi kejam: setiap petani harus menyerahkan hasil panennya dalam jumlah yang telah ditentukan. Yang menyembunyikan padi akan dianggap pembangkang, dan pembangkang punya harga yang mahal—kadang nyawa.

KH. Sulaiman bukan petani, tapi hatinya sekeras tanah yang diinjak petani. Ia tahu bahwa kelaparan lebih mematikan daripada peluru, dan ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana rakyatnya mengais gabah di bawah pengawasan serdadu.

“Jangan sampai kita seperti burung dalam sangkar, diberi makan hanya agar bisa berkicau di telinga majikan,” katanya suatu hari. Kalimat itu tak tertulis di buku sejarah, tapi menggema di hati para petani yang mulai gelisah.

Mengaji di Malam Hari, Berjuang di Siang Terik

Di pesantren kecilnya, KH. Sulaiman tidak hanya mengajarkan Nahwu dan Shorof. Ia mengajarkan keberanian. Di sela-sela pelajaran fikih, ia berbisik kepada santrinya:

“Jika padi itu rezeki dari Allah, maka tak ada yang boleh merampasnya.”

Ia tahu bahwa perlawanan tak bisa dilakukan dengan senjata. Jepang punya bedil dan bayonet, sedang rakyat Indramayu hanya punya cangkul dan doa. Maka, KH. Sulaiman memilih cara lain: mengatur distribusi padi secara diam-diam.

Dalam gelap malam, di antara suara jangkrik dan desau angin laut, ia bersama para santri menyelundupkan gabah ke rumah-rumah warga yang kelaparan. Karung-karung kecil itu disembunyikan di bawah tumpukan kayu, di dalam sumur kering, bahkan di sela-sela atap rumah.

“Jangan kau jual, jangan kau simpan untuk esok. Ini untuk malam ini, untuk perut anak-anak yang menangis dalam tidur,” katanya kepada seorang janda yang sudah tiga hari hanya minum air tajin.

Ketika Serdadu Datang Menyapa

Tentu saja, Jepang tidak tinggal diam. Mereka mencium ada yang tak beres. Pada suatu pagi yang mendung, serdadu-serdadu datang ke pesantren. Mereka menggeledah lemari kitab, membongkar dapur, bahkan menendang rak kayu tempat santri menyimpan pakaian.

“Di mana kau sembunyikan padi itu, Kiai?” tanya seorang opsir dengan suara tajam.

KH. Sulaiman hanya tersenyum.

“Padi? Bukankah tanah ini penuh dengan padi? Bahkan jika aku tidak menyembunyikannya, padi tetap akan tumbuh, dan orang-orang tetap akan makan.”

Opsir itu tak puas, tapi ia tak punya bukti. Mereka hanya mendapati pesantren yang tampak miskin, santri-santri yang kurus, dan kitab-kitab yang berdebu.

Padi, Doa, dan Perlawanan yang Sunyi

Perjuangan KH. Sulaiman tak pernah masuk dalam buku pelajaran sejarah. Tak ada patungnya di alun-alun, tak ada monumen yang mencatat namanya. Tapi di hati para petani, ia adalah penyelamat.

Ketika perang usai, dan Jepang angkat kaki, rakyat Indramayu kembali menanam tanpa takut kehilangan hasil panennya. Tapi nama KH. Sulaiman tetap disebut dalam doa—di sela-sela hembusan angin yang melewati pematang, dalam suara azan yang berkumandang di langgar kecil, dalam tatapan mata petani yang menatap sawahnya dengan lega.

Dan di suatu pagi yang sunyi, seorang santri duduk di beranda pesantren, membaca kitab tua yang pernah diajarkan KH. Sulaiman. Ia membuka lembaran yang sudah menguning, menemukan coretan tangan gurunya:

“Jika engkau menanam dengan ikhlas, rezeki akan datang. Dan jika rezekimu dirampas, maka engkau harus menanam kembali, sebab yang memberi rezeki bukan manusia, melainkan Tuhan.”

Angin laut membawa aroma tanah basah, dan di kejauhan, padi menguning di bawah matahari.

Sedikit penulis menulis Syair untuk mengingat Kiai Sulaiman

di pematang sawah itu
ada jejak sandal yang mengarah ke langit
langkah-langkah yang tak tercatat
tapi disaksikan daun padi yang menunduk

di surau kecil itu
doa mengalir seperti air irigasi
mengisi perut-perut lapar
dengan harapan yang lebih besar dari bumi

di antara bayonet dan ketakutan
ia menanam keberanian dalam diam
dan ketika sejarah mencatat pemenang
namanya tertulis di hati, bukan di buku

Sebab padi tak pernah berjanji
tapi selalu kembali
tumbuh di tanah yang pernah diperjuangkan
oleh tangan yang tak meminta, hanya memberi.

 

Penulis : Wahyu Iryana, Penulis adalah dosen UIN Bandung dan aktif di Lembaga Ta’lif Wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTN NU) Jawa Barat.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button